Nantikan Dia dengan Sukacita: Refleksi Advent Ketiga

Pada hari Minggu kemarin, saya merasakan momen istimewa karena untuk pertama kalinya setelah pandemi, saya berkesempatan menghadiri ibadah gereja sore yang merayakan Advent ketiga. Sejak pagi, perjalanan spiritual saya dimulai dengan menghadiri pernikahan saudara dekat di Dramaga, Bogor, yang membuat saya terpaksa melewatkan tawaran untuk naik Gunung Gede. Namun, kehadiran di gereja sore menjadi pengalaman yang memberi kedamaian tersendiri.

Gereja sore pada saat itu terasa begitu syahdu karena jumlah pengunjung hanya 1/5 dari kapasitas gedung. Suasana yang hening dan penuh hikmat membuat ibadah semakin berkesan. Tema khotbah “Nantikanlah Dia dengan Sukacita” menggugah pemikiran saya, terutama saat saya merenungkan situasi di Yerusalem dan Bethlehem yang tengah dilanda perang. Bagaimana kita menanti Juru Selamat di tengah-tengah konflik? Apakah pemaknaan kita akan bayi Yesus lahir di kandang domba berubah menjadi di antara reruntuhan gedung akibat bom?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mencuat dalam benak saya, bahkan hingga keponakan saya memberikan bukunya dengan permintaan untuk dibacakan. Meskipun tidak memungkinkan membaca buku di tengah ibadah, saya mencoba menenangkannya sambil menyadari betapa anak-anak memiliki pandangan dunia yang berbeda.

Saya merenung tentang makna sukacita dalam konteks ini. Apakah sukacita dipengaruhi oleh faktor eksternal atau internal? Sementara khotbah berlangsung, saya menyadari bahwa sukacita sejati mirip dengan kebahagiaan anak-anak yang tulus. Mereka dapat bergembira pada hal-hal yang tampaknya kecil, sederhana, dan sepertinya biasa saja menurut orang dewasa. Berbeda dengan orang dewasa dengan pemodelan kebahagiaan yang rumit. Banyaknya prasyarat dan kriteria bahagia yang dibangun, malah akhirnya manusia dewasa terjebak memenuhi kriteria itu, sambil akhir menyadari atau tidak menyadari: takluk pada waktu. Meskipun kehidupan dewasa sering kali penuh dengan kepalsuan dan kekhawatiran, keteguhan dalam memegang janji penantian memberikan penghiburan yang hakiki. Mungkin inilah sekelumit kebahagiaan atau sukacita itu.

Saya tak melanjutkan lagi, bagaimana memaknai sukacita dalam penantian perang yang tiada habisnya di Gaza. Saya tak sanggup. Sungguh rumit.

Ibadah selesai, dan seperti ritual setelah setiap ibadah, saya bergegas ke altar untuk mengabadikan tiga lilin yang masih bernyala. Saat itulah saya menyadari bahwa Elona, keponakan saya, mengikuti langkah saya hingga ke depan. Saya mengambil gambarnya sebagai pengingat akan momen penuh arti itu.

Dalam saat hening, saya berefleksi agar kita semua tetap diberikan kekuatan dalam menjalani proses penantian ini. Semoga kita mampu menjaga sukacita seperti anak-anak, bahkan di tengah-tengah segala tantangan kehidupan. Amin.